Darul hijrah

Istilah Darul hijrah (bahasa Arab: دار الهجرة, lit. bahasa Indonesia: 'tempat pengasingan/perlindungan/migrasi') awalnya diterapkan di Madinah, kota dimana nabi Islam Muhammad dan para umatnya mencari perlindungan ketika diasingkan dari Makkah pada tahun 622 (Hijrah). Istilah ini kemudian diadopsi oleh sekte-sekte Islam radikal, terutama kaum Isma'ili untuk kubu-kubu mereka, yang berfungsi baik sebagai basis operasi maupun sebagai inti dari komunitas Islam "sejati".

Penggunaan awal

Hijrah atau migrasi Muhammad dan para umatnya pada bulan September 622 dari Makkah ke Madinah adalah peristiwa penting dalam sejarah Islam. Peristiwa ini dinamakan hijrah, yang berarti "putusnya ikatan kekerabatan atau pergaulan", dan orang-orang Makkah yang mendukung dan mengikuti Muhammad ke pengasingan—serta mereka yang sebelumnya Hijrah ke Abisinia—dikenal sebagai Muhajirin, yaitu gelar yang memperoleh prestise besar di tahun-tahun berikutnya.[1] Dalam Al-Quran, hijrah dianggap sebagai kewajiban semua Muslim, terutama dalam konteks ketika orang Islam tinggal di tanah orang yang tidak beriman (dār al-ḥarb) maka orang tersebut tidak dapat mempraktikkan agama secara bebas dan bertanggung jawab, sehingga harus bermigrasi ke tanah Islam. Jika hijrah tidak dilakukan, maka orang beriman tersebut akan dihukum ke neraka.[2][3]

Akibatnya, pada masa awal Islam, setelah penaklukan Muslim awal yang cepat, kota-kota garnisun baru di mana tempat kaum Muslim Arab menetap sering disebut sebagai "tempat migrasi" (dār al-hijra). Namun, penggunaan ini tidak berlangsung lama. Seperti yang dikatakan sejarawan Alan Verskin, " hijrah adalah konsep yang berguna bagi komunitas minoritas dengan kekuatan politik terbatas yang sedang dalam proses membangun dirinya sendiri", sementara kaum Muslim memegang kekuasaan politik dan dengan cepat menjadi kelompok dominan di negeri-negeri yang telah mereka taklukkan.[4]

Referensi

  1. ^ Watt 1971, hlm. 366–367.
  2. ^ Verskin 2015, hlm. 31–32.
  3. ^ Peters 2004, hlm. 368.
  4. ^ Verskin 2015, hlm. 32.

Bacaan lanjutan

  • Avcu, Ali (2011). "Dār al-hijra in Khārijī and Ismāʿīlī thought". Ilahiyat Studies: A Journal on Islamic and Religious Studies. 2 (2): 169–187. doi:10.12730/13091719.2011.22.36. 
  • Daftary, Farhad (2007). The Ismāʿı̄lı̄s: Their History and Doctrines (edisi ke-Second). Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-61636-2. 
  • Halm, Heinz (1991). Das Reich des Mahdi: Der Aufstieg der Fatimiden [The Empire of the Mahdi: The Rise of the Fatimids] (dalam bahasa German). Munich: C. H. Beck. ISBN 3-406-35497-1. Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
  • Madelung (1995). "al-Rassī"Perlu langganan berbayar. Dalam Bosworth, C. E.; van Donzel, E.; Heinrichs, W. P.; Lecomte, G. Encyclopaedia of Islam. Volume VIII: Ned–Sam (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 453–454. ISBN 978-90-04-09834-3.  Parameter |name-list-style= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  • Peters, R. (2004). "Hid̲j̲ra"Perlu langganan berbayar. Dalam Bearman, P. J.; Bianquis, Th.; Bosworth, C. E.; van Donzel, E.; Heinrichs, W. P. Encyclopaedia of Islam. Volume XII: Supplement (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 368. ISBN 978-90-04-13974-9.  Parameter |name-list-style= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  • Verskin, Alan (2015). "The Concept of Hijra (Migration) in Medieval Iberia and the Maghrib". Islamic Law and the Crisis of the Reconquista: The Debate on the Status of Muslim Communities in Christendom. Leiden and Boston: Brill. hlm. 31–60. doi:10.1163/9789004284531_003. ISBN 978-90-04-28319-0. 
  • Watt, W. Montgomery (1971). "Hid̲j̲ra"Perlu langganan berbayar. Dalam Lewis, B.; Ménage, V. L.; Pellat, Ch.; Schacht, J. Encyclopaedia of Islam. Volume III: H–Iram (edisi ke-2). Leiden: E. J. Brill. hlm. 366–367. OCLC 495469525.  Parameter |name-list-style= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)