Karaeng Matoaya

Karaeng Matoaya (Sultan Abdullah)
Sultan Tallo (Perdana Menteri Kesultanan Makassar)
Berkuasa1593-1623
PenerusI Manginyarrang Daeng Makkio Karaeng Kanjilo, Sultan Mudaffar Tumammaliang ri Timoro. Raja Tallo VIII (1623 - 18 Mei 1641).
Kelahiran-
1573
Kematian1 Oktober 1636
Pasangan
  1. Karaeng Naung Tuniawang ri Kalassukanna (Istri utama)
  2. Lokmo Tekne
  3. Lokmo ri Paotereka
  4. Bungasa dari Binamu
  5. Lokmo Malolo
  6. I Battu Kare Nia
  7. I Tobo Lokmo ri Boddia
  8. Lokmo' ri Pannampu.
KeturunanDari pernikahan dengan Karaeng Naung :
  1. Tamassaile
  2. Sultan Mudaffar Tumammaliang ri Timoro
  3. Sultan Mahmud Karaeng Pattingalloang
  4. Manibang
  5. Mangaru
  6. Salemang
  7. Meninggal saat di lahirkan
  8. Sapuru
  9. Makkutaknang
  10. Tamatoa
Nama lengkap
I Mallingkang Daeng Manyonri, Karaeng Kanjilo, Karaeng Sigeri, Karaeng ri Tallo Karaeng Matoaya, Sultan Abdullah. Tumamenang ri Agamana.
AyahIMappatakangkangtana Daeng Padulu, Karaeng Pattingalloang, Tumenanga ri Makkoayang. Raja Tallo ke- IV (1540/1543 - 1576).
AgamaIslam

Sultan Abdullah Karaeng Matoaya adalah raja Tallo yang ke-VII, ayah dari Sultan Mudaffar Tumammaliang ri Timoro dan Sultan Mahmud Karaeng Pattingalloang. Sebagai Perdana menteri di Kesultanan makassar yang sangat berpengaruh pada akhir Abad XVI hingga pertengahan Abad XVII.[1] Ia melantik Sultan Alauddin menggantikan saudaranya Tunipasulu. Hubungan yang erat antara Karaeng Matoaya dengan Sultan Alauddin kemudian berhasil meningkatkan kejayaan Kesultanan makassar menjadi kekuatan militer yang kuat baik didarat maupun dilaut dan perdagangan yang kemudian disegani Kawasan Indonesia Timur.[2][3]

Persekutuan Gowa-Tallo

Pada masa pemerintahan Karaeng Matoaya, Kerajaan Tallo dan Kerajaan Gowa telah bersekutu menjadi kesatuan (Kesultanan Makassar), di mana raja Gowa berperan sebagai raja di Kesultanan makassar dan raja Tallo sebagai Perdana menteri.[4] Berbagai kebijakan raja Gowa Tunipasulu sebelumnya telah melemahkan Makassar, dan Karaeng Matoaya lah yang membangkitkan kekuatan kerajaan itu.[4] Ia mengangkat Alauddin sebagai pengganti Tunipasulu, mempererat kerjasama Gowa dan Tallo, dan mengembangkan Makassar dari sebuah kekuatan lokal di Sulawesi Selatan menjadi suatu kekuatan regional besar, sehingga mampu menyaingi VOC yang mulai berkembang di Nusantara.[4]

Penyebaran Islam

Karaeng Matoaya adalah raja Tallo pertama yang memeluk agama Islam, yang dilakukannya bersama keluarganya pada 22 September 1605.[5] Tak lama kemudian, raja Gowa Alauddin yang juga adalah kemenakannya turut serta memeluk Islam, sehingga Islam kemudian menjadi agama resmi Kesultanan Makassar.[4] Di bawah pimpinan Karaeng Matoaya dan Sultan Alauddin, Makassar yang telah memeluk Islam kemudian terlibat dalam penyebarannya. Antara 1608 hingga 1611, semua kerajaan besar di Sulawesi Selatan yang berada bagian sebelah selatan dataran tinggi Toraja telah diperangi atau dibujuk, hingga kesemuanya memeluk Islam.[4] Demikian pula hal yang sama terjadi pada Bima di Sumbawa.[4] Meskipun demikian, Karaeng Matoaya tidak melakukan perubahan sosial atau administratif atas berbagai kerajaan tersebut, yang tetap diperintah seperti sebelumnya oleh para bangsawan lokal setempat.[4]

Hagemoni Makassar

Makassar pada masa pemerintahan Karaeng Matoaya merupakan pos perdagangan yang ramai bagi bebagai bangsa Eropa yang menetap di ibukota Somba Opu seperti Portugis, Inggris, Belanda, Denmark dan Prancis serta komunitas suku-suku lainnya dari seantero Nusantara. Berbagai macam barang dagangan diperdagangkan di Makassar saat itu antara lain Kayu Cendana dari Nusa Tenggara Timur, Beras dari Maros, Berlian dari Banjarmasin, Cengkih dari Maluku, Kain dari India, Porselen dan Sutra dari Tiongkok, Teripang dari Australia Utara dan lain-lain.[4] Pengaruh militer Makassar juga diperluas pada masa pemerintahan Karaeng Matoaya. Ekspedisi laut Makassar tercatat pernah dikirimkannya ke wilayah utara dan tengah Sulawesi, Buton, serta Nusa Tenggara. Di wilayah selatan Sulawesi, pasukan darat Makassar yang kuat juga memadamkan pemberontakan dan ketidakpatuhan dengan kekuatan militernya. Karaeng Matoaya memerintahkan pembuatan meriam dan mesiu, membuat kapal-kapal baru dengan rancangan lebih mutakhir, mencetak mata uang emas untuk perdagangan, serta memperkuat perbentengan di pantai Gowa dengan batu bata untuk menahani serangan dari arah laut.[4]

Kepribadian

Karaeng Matoaya disebutkan sebagai seorang yang taat dalam beragama Islam.[6] Ia juga diketahui memiliki ketertarikan intelektual atas berbagai macam hal, mulai dari teologi hingga ilmu pengetahuan. Minat serupa juga diperlihatkan oleh anak dan penerusnya, Karaeng Pattingalloang, yang mampu berbicara bahasa Melayu, Portugis, dan Spanyol, serta memiliki koleksi berbagai macam naskah, bola dunia, dan peta pelayaran yang menimbulkan kekaguman para tamunya.[4]

Keluarga

Karaeng Matoaya adalah putra dari Raja Tallo yang ke-IV, I Mappatakangkangtana Daeng Padulu, Karaeng Pattingalloang, Tumenanga ri Makkoayang yang berkuasa pada tahun (1540/1543 - 1576). Istrinya bernama Tuniawang ri Kalassukanna putri pasangan I Pakere Tau, Karaeng Tunijallo ri Pasukki (Raja Gowa ke-VIII) dan Karaeng Wara. Dari pernikahan ini melahirkan 10 (sepuluh) anak, 7 Putra dan 3 putri yaitu :

• Tamassaile Karaeng Karaeng Sigeri (Usia 7 tahun meninggal).

Sultan Mudaffar, I Manginyarrang Daeng Makkio, Karaeng Kanjilo, Tumammalianga ri Timoro. Pendiri kota Pante Makassar, Timor Leste pada tahun 1641, Sultan Tallo ke-XIII.

Sultan Mahmud, I Mangadacinna Daeng Bakle Karaeng Pattingalloang III Tumenanga ri Bontobiraeng Sultan Tallo ke-IX.

• I Manibang Daeng Matutu Karaeng Lembaya.

• I Salemang Daeng Sunggu, Karaenga ri Majannang.

• (Meninggal saat dilahirkan).

• I Sapuru (Usia 7 tahun meninggal).

• I Tamatoa Daeng Anrene, Karaenga ri Pattukangang.

Istri lainnya yaitu Lokmo ri Paotereka dari pernikahan ini tidak mempunyai anak. Istri lainnya bernama I Bungasa' yang berasal dari Binamu, Jeneponto. Mereka dikarunia anak sebanyak delapan orang, satu putra dan tujuh putri yaitu 1). Mallawakkang Abdul Kadir Karaeng Popo. 2). Satu lagi diasuh oleh Karaeng Pattingalloang meninggal saat masih kecil. 3). Yang ketiga bernama bernama I Bissu Tumigisi, Kare Tonji Daengta Mangeppea. 4). Fatimah Daeng Nangke. 5). I Dena 6). I Baine Kare Manassa Daengta ri Pattingalloang 7).I Yani masih kecil sudah meninggal 8).dan terakhir juga masih kecil sudah meninggal yang tidak diketahui namanya. Istrinya yang lain berasal dari Majannang yang bernama I Lokmo Malolo. Suatu kali dia tinggal di Maroanging dia dipanggil I Lokmo ri Maroanging. Mereka memiliki lima putra, satu anak Perempuan yaitu 1.I Mallakkang Abdul Karim Daeng Tomamo 2. Daeng Kalula Karaeng Tamalabba dan Anak lain meninggal saat masih kecil.

Karya Karaeng Matoaya

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Anthony Reid (2015). A History of Southeast Asia: Critical Crossroads. John Wiley & Sons. hlm. 136. ISBN 1-118-51300-2, 9781118513002. 
  2. ^ William Cummings (2002). Making Blood White: Historical Transformations in Early Modern Makassar (edisi ke-berilustrasi). University of Hawaii Press. hlm. 30-32. ISBN 0-8248-2513-6, 9780824825133. 
  3. ^ William Cummings (2002). Making Blood White: Historical Transformations in Early Modern Makassar (edisi ke-berilustrasi). University of Hawaii Press. hlm. 30-32. ISBN 0-8248-2513-6, 9780824825133. 
  4. ^ a b c d e f g h i j William Cummings (2002). Making Blood White: Historical Transformations in Early Modern Makassar (edisi ke-berilustrasi). University of Hawaii Press. hlm. 30-32. ISBN 0-8248-2513-6, 9780824825133. 
  5. ^ Uka Tjandrasasmita (2009). Arkeologi Islam Nusantara. Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 28. ISBN 979-9102-12-X, 9789799102126. 
  6. ^ Anthony Reid (2015). A History of Southeast Asia: Critical Crossroads. John Wiley & Sons. hlm. 136. ISBN 1-118-51300-2, 9781118513002.